Rabu, 19 Januari 2011

Justin biber


Rabu, 12 Januari 2011

Persamaan Gelombang Schrödinger

Persamaan Gelombang Schrödinger 23
BAB 3
Persamaan Gelombang Schrödinger
Schrödinger menyatakan bahwa perilaku elektron, termasuk tingkat-tingkat energi
elektron yang diskrit dalam atom, mengikuti suatu persamaan diferensial untuk
gelombang, yang kemudian dikenal sebagai persamaan Schrödinger. Persamaan ini
biasanya tidak dibahas secara mendalam jika membicarakan masalah material, lebihlebih
pada buku ajar tingkat sarjana. Daniel D Pollock membahas hal ini lebih
mendalam dalam bukunya, namun ada satu langkah yang dihilangkan dalam
mengintroduksi operator momentum maupun energi. Di sini kita akan mencoba
menelusurinya dalam pembahasan yang agak terurai namun tetap sederhana.
3.1. Fungsi Hamilton
Jika gelombang dapat mewakili elektron maka energi gelombang dan energi partikel
elektron yang diwakilinya haruslah sama. Sebagai partikel, satu elektron mempunyai
energi total yang terdiri dari energi potensial dan energi kinetik. Seperti kita ketahui,
energi potensial merupakan fungsi posisi x (dengan referensi koordinat tertentu) dan
kita sebut Ep(x), sedangkan energi kinetik adalah Ek = ½mv2 dengan m adalah massa
elektron dan v adalah kecepatannya. Energi total electron sebagai partikel menjadi E
= Ep + Ek
( )
2
2
E x
mv
E p = + atau ( )
2
2
E x
m
p
E p = + (3.1)
di mana p = mv adalah momentum elektron.
Jika kita pandang persamaan (3.1) ini sebagai persamaan matematis biasa, kita dapat
menuliskannya sebagai
( )
2
( , )
2
E x
m
p
E H p x p ≡ = + (3.2)
H(p,x) adalah sebuah fungsi yang disebut fungsi Hamilton (dari William Rowan
Hamilton 1805 – 1865; matematikawan Irlandia), dengan p dan x adalah peubahpeubah
bebas.[4]. Turunan parsial fungsi ini terhadap p dan x masing-masing adalah
m
p
p
H p x =

∂ ( , )
dan
dx
dE x
x
H( p, x) p ( ) =


(3.3)
Kalau kita memandang (3.1) kembali sebagai suatu persamaan besaran fisika dengan
p dan x adalah momentum dan posisi¸ maka kita peroleh
dt
dx
v
m
p
p
H p x
e = = =

∂ ( , )
dan (3.4.a)
24 Sudaryatno S, Ning Utari, Mengenal Sifat-Sifat Material
dt
dp
dt
dv
F x m
x
E x
x
H p x p = = =


= −


− ( )
( , ) ( )
(3.4.b)
Jadi turunan H(p,x) terhadap p memberikan turunan x terhadap t dan turunan H(p,x)
terhadap x memberikan turunan p terhadap t; dan kita pahami bahwa p di sini
adalah momentum, suatu besaran fisis dan bukan lagi hanya sebuah peubah-bebas
seperti dalam fungsi Hamilton.
Dalam relasi fisik, dx / dt = v adalah kecepatan, dan dp / dt = F adalah gaya. Dengan
demikian maka fungsi Hamilton, yang menetapkan hubungan antara peubah-peubah
bebas p dan x untuk memperoleh E, dapat kita gunakan untuk menggantikan
hubungan-hubungan fisik mengenai momentum, kecepatan, dan gaya yang biasa
kita nyatakan sebagai : p = mv ;
m
p
dt
dx
v = = ;
dt
dp
dt
dv
m
dt
d x
F = m = =
2
2
Perhatikan: sekali lagi p dan x dalam fungsi Hamilton adalah peubah-peubah
sedangkan p dan x dalam persamaan fisis adalah momentum dan posisi.
3.2. Fungsi Hamilton dalam Mekanika Kuantum
Dalam mekanika kuantum, elektron dinyatakan sebagai gelombang. Jika fungsi
Hamilton dapat diterapkan untuk elektron sebagai partikel, maka ia harus dapat
diterapkan pula untuk elektron sebagai gelombang. Hal ini akan kita lihat sebagai
berikut.
• Peubah p pada fungsi Hamilton, harus diganti dengan operator momentum
agar jika dioperasikan terhadap suatu fungsi gelombang dapat menyatakan
momentum elektron yang tidak lagi dipandang sebagai partikel melainkan
sebagai gelombang.
• E pada fungsi Hamilton, harus diganti dengan operator energi yang jika
beroperasi pada fungsi gelombang dari electron akan memberikan energi.
• Peubah x yang akan menentukan posisi elektron sebagai partikel, akan
terkait dengan posisi elektron sebagai gelombang sehingga peubah ini tidak
berubah pada fungsi gelombang dari elektron. Dalam kaitan ini perlu kita
ingat bahwa jika elektron kita pandang sebagai partikel maka momentum
dan posisi mempunyai nilai-nilai yang akurat. Jika elektron kita pandang
sebagai gelombang, maka kita dibatasi oleh prinsip ketidakpastian
Heisenberg.
Operator Momentum dan Operator Energi. Kita akan mencoba menelusuri
operator-operator yang diperlukan ini dengan memperhatikan bentuk fungsi
gelombang komposit, yaitu persamaan (2.5)
( )
0
[( ) ( ) ] 0 0j t k x
n
j t k x u e n n A e ω − ω −
 


 


= Σ
Jika fungsi ini kita turunkan terhadap t kita peroleh
Persamaan Gelombang Schrödinger 25
( )
0 0
[( ) ( ) ]
( )
0
[( ) ( ) ]
0 0
0 0
j t k x
n
j t k x
j t k x
n
j t k x
n
e j A e
j e A e
t
u
n n
n n
ω − ω −
ω − ω −
ω
 


 


+
 


 


= ω


Σ
Σ
yang dapat disederhanakan menjadi
( )
0
[( ) ( ) ]
0
0
0 0j t k x
n
n j t k x j e A e
t
u
n n ω − ω −
 


 


ω
ω
= ω

∂ Σ (3.5.a)
Dalam selang sempit k maka / 1 0 ω ω ≈ n ; dan jika ruas kiri dan kanan (3.5.a)
dikalikan dengan h dan mengingat bahwa energi E = hω maka kita akan
memperoleh
u j u jEu
t
= ω =


( 0 )
h h atau u Eu
t
j =


− h (3.5.b)
E adalah energi total elektron. Akan tetapi jika kita melihat (3.5.b) sebagai suatu
persamaan matematik biasa maka kita dapat mengatakan bahwa E merupakan
sebuah operator yang beroperasi pada fungsi gelombang u dan
t
E j


≡ − h (3.5.c)
Jika u kita turunkan terhadap x.
( )
( )
( )
0
[( ) ( ) ]
0
0
( )
0 0
[( ) ( ) ]
( )
0
[( ) ( ) ]
0 0
0 0
0 0
j t k x
n
n j t k x
j t k x
n
j t k x
j t k x
n
j t k x
n
e A e
k
k
jk
e jk A e
j k e A e
x
u
n n
n n
n n
ω − ω −
ω − ω −
ω − ω −
 


 


= −

 


 


+
 


 


= −


Σ
Σ
Σ
Untuk / 0 1 kn k ≈ , jika ruas kiri dan kanan kita kalikan dengan h akan kita peroleh
u j k u jpu
x
= − = −


( 0 )
h h atau u pu
x
j =


h (3.5.d)
Seperti halnya untuk E pada (3.5.b), p pada (3.3.5.d) kita pandang sebagai operator
x
p j


≡ h (3.5.e)
Dengan demikian kita mendapatkan operator untuk E pada (3.5.c) dan p pada
(3.5.e).
26 Sudaryatno S, Ning Utari, Mengenal Sifat-Sifat Material
Jika fungsi gelombang kita sebut Ψ dan mengoperasikan H(p,x) pada fungsi
gelombang ini, maka
H( p, x)Ψ = EΨ atau Ψ = Ψ
 


 


+ E x E
m
p
p ( )
2
2
;
Dengan memasukkan operator p akan kita peroleh
Ψ = Ψ 




+ 






− 






− E x E
x
j
x
j
m
p ( )
2
1
h h atau
+ Ψ = Ψ

∂ Ψ
− E x E
m x
p ( )
2 2
h 2 2
(3.6)
Inilah persamaan Schrödinger untuk satu dimensi. Untuk tiga dimensi, persamaan
Schrödinger itu menjadi
− ∇ Ψ + E x y z Ψ = EΨ
m
p ( , , )
2
2
h 2
(3.7)
3.3. Persamaan Schrödinger Bebas-waktu
Aplikasi persamaan Schrödinger dalam banyak hal akan berkaitan dengan energi
potensial, yaitu besaran yang merupakan fungsi posisi dan tidak merupakan fungsi
waktu. Perhatian kita tidak tertuju pada keberadaan elektron dari waktu ke waktu,
melainkan tertuju pada kemungkinan dia berada dalam selang waktu yang cukup
panjang. Jadi jika faktor waktu dapat dipisahkan dari fungsi gelombang, maka hal
itu akan menyederhanakan persoalan. Kita tinjau kasus satu dimensi dan menuliskan
persamaan gelombang sebagai Ψ(x, t) = ψ(x) T(t) . Jika persamaan gelombang ini
kita masukkan ke persamaan (3.6) dan kedua ruas kita bagi dengan ψ(x)T(t) kita
memperoleh
t
T t
T t
E x j
x
x
m x
p ∂

+ = −

∂ ψ
ψ
− ( )
( )
1
( )
( )
( )
1
2 2
2 2
h
h
(3.8)
Ruas kiri dari (3.8) merupakan fungsi x saja sedangkan ruas kanan merupakan
fungsi t saja. Karena kedua ruas merupakan fungsi dengan peubah yang berbeda
maka kedua ruas harus sama dengan suatu nilai konstan khusus, yang biasa disebut
eigenvalue.
Kita lihat lebih dahulu ruas kanan, yang akan memberikan persamaan Schrödinger
satu dimensi yang tergantung waktu:
konstan
( )
( )
1 = =


− a
t
T t
T t
jh (3.8.a)
Mengingat bentuk gelombang yang mewakili elektron adalah (2.5)
Persamaan Gelombang Schrödinger 27
j t k x j t jk x u S x t A e 0 0 S x t A e 0 e 0
0
( )
( , ) 0 ( , )
= ω − = ω −
sedangkan S(x, t) adalah
j k x
n
j t S x t e n e n ( ) ( ) ( , )
=Σ ω −
maka kita dapat mengambil bentuk T(t) sebagai j t T t B t e
= ) ω ( ) ( untuk kita masukkan
ke (3.8.a), dan kita akan memperoleh
E
B t e
j B t e
j
t
B t e
B t e
a j
j t
j t
j t
j t
= ω =
ω
= −


= −
ω
ω
ω
ω
h h
h
( )
( )
( )
( )
1
(3.8.b)
Jadi konstanta a pada (3.8.a) adalah energi total elektron, E. Jika demikian halnya
maka ruas kiri (3.8) juga harus sama dengan E, sehingga dapat kita tuliskan sebagai
E x E
x
x
m x
p + =

∂ ψ
ψ
− ( )
( )
( )
1
2 2
h2 2
atau
( ( )) ( ) 0
( )
2 2
2 2
+ − ψ =

∂ ψ
E E x x
x
x
m
p
h
(3.9)
Inilah persamaan Schrödinger satu dimensi yang bebas-waktu.
Untuk tiga dimensi persamaan itu menjadi
( ( , , )) 0
2
2
2
∇ Ψ + E − E x y z Ψ =
m
p
h
(3.9.a)
Perlu kita sadari bahwa adanya persamaan Schrödinger bebas-waktu bukanlah
berarti bahwa elektron atau partikel yang ingin kita pelajari dengan mengaplikasikan
persamaan ini adalah partikel yang bebas-waktu. Partikel tersebut memiliki
kecepatan gerak, dan kecepatan adalah turunan terhadap waktu dari posisi. Oleh
karena itu dalam memberi arti pada penurunan matematis dari persamaan
Schrödinger bebas-waktu, dalam hal-hal tertentu kita perlu mempertimbangkan
masalah waktu, sesuai dengan logika.
Dengan persamaan Schrödinger bebas-waktu (3.9) atau (3.9.a) fungsi gelombang
yang dilibatkan dalam persamaan ini juga fungsi gelombang bebas-waktu, Ψ(x).
Dari bentuk gelombang komposit untuk electron (2.5)
( )
0
( , ) 0 0j t k x u S x t A e
= ω − dengan j k x
n
j t S x t e n e n ( ) ( ) ( , )
=Σ ω −
kita dapat mengambil bentuk Ψ(x) sebagai jkx x A x e
Ψ = ) − ( ) ( , dengan A(x) adalah
selubung paket gelombang, untuk mencari solusi persamaan Schrödinger.
28 Sudaryatno S, Ning Utari, Mengenal Sifat-Sifat Material
Persamaan Schrödinger adalah persamaan gelombang dan yang kita maksudkan
adalah gelombang sebagai representasi elektron atau partikel. Mencari solusi
persamaan Schrödinger adalah untuk memperoleh fungsi gelombang yang
selanjutnya digunakan untuk melihat bagaimana perilaku atau keadaan elektron.
Hubungan antara momentum p dan energi E dengan besaran-besaran gelombang (k,
ω, f, λ) adalah
λ
=
λ
Ï€
= = h
p k
2
h h E = hω = hf
3.4. Fungsi Gelombang
Persamaan Schrödinger adalah persamaan diferensial parsial dengan Ψ adalah
fungsi gelombang, dengan pengertian bahwa
dx dy dz Ψ*Ψ (3.10)
adalah probabilitas keberadaan elektron pada waktu t tertentu dalam volume dx dy
dz di sekitar titik (x, y, z); Ψ* adalah konjugat dariΨ . Jadi persamaan Schrödinger
tidak menentukan posisi elektron melainkan memberikan probabilitas bahwa ia akan
ditemukan di sekitar posisi tertentu. Kita juga tidak dapat mengatakan secara pasti
bagaimana elektron bergerak sebagai fungsi waktu karena posisi dan momentum
elektron dibatasi oleh prinsip ketidakpastian Heisenberg.
Dalam kasus satu dimensi dengan bentuk gelombang
jkx A e
x
x k
x

Ψ = 0
2sin( /2)
( ) dan jkx kA e
x k
x k
x
+


Ψ = 0
*
( /2)
sin( /2)
( )
maka
2
2
0
* sin( / 2)
 


Ψ Ψ =
x
x k
A (3.11)
Apa yang berada dalam tanda kurung pada (3.11) adalah selubung paket gelombang
yang merupakan fungsi x sedangkan A0 memiliki nilai konstan. Jadi selubung paket
gelombang itulah yang menentukan probabilitas keberadaan elektron.
Persyaratan Fungsi Gelombang. Fungsi gelombang Ψ(x) hasil solusi persamaan
Schrödinger harus memenuhi beberapa persyaratan agar ia mempunyai arti fisis.
Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut.
• Elektron sebagai suatu yang nyata harus ada di suatu tempat. Oleh karena itu
fungsi gelombang (untuk satu dimensi) harus memenuhi 1 ∫ Ψ*Ψ = ∞
−∞
dx .
• Fungsi gelombang Ψ(x) , harus kontinyu sebab jika terjadi ketidakkontinyuan
hal itu dapat ditafsirkan sebagai rusaknya elektron, suatu hal
yang tidak dapat diterima.
Persamaan Gelombang Schrödinger 29
• Turunan fungsi gelombang terhadap posisi, dΨ / dx , juga harus kontinyu.
Kita telah melihat bahwa turunan fungsi gelombang terhadap posisi terkait
dengan momentum elektron sebagai gelombang. Oleh karena itu persyaratan
ini dapat diartikan sebagai persayaratan kekontinyuan momentum.
• Fungsi gelombang harus bernilai tunggal dan terbatas sebab jika tidak akan
berarti ada lebih dari satu kemungkinan keberadaan elektron.
• Fungsi gelombang tidak boleh sama dengan nol di semua posisi sebab
kemungkinan keberadaan elektron haruslah nyata, betapapun kecilnya.
3.5. Aplikasi Persamaan Schrödinger - Tinjauan Satu Dimensi
3.5.1. Elektron-bebas
Yang dimaksud dengan elektron-bebas adalah elektron yang tidak mendapat
pengaruh luar sehingga energi potensialnya nol. Dengan V(x) = 0 persamaan
Schrödinger menjadi
( ) 0
( )
2 2
2 2
+ ψ =

∂ ψ
E x
x
x
m
h
(3.12)
Solusi persamaan Schrödinger satu dimensi ini bisa kita duga berbentuk
sx ψ(x) = Ae . (Bandingkan solusi dugaan ini dengan persamaan paket gelombang di
bab sebelumnya, yaitu persamaan (2.9) jk x sx
t
u = A(x)e− 0 = A(x)e ). Jika solusi
dugaan ini kita masukkan ke (3.12) akan kita peroleh persamaan karakteristik yang
memberikan nilai s:
2 2
2
, dengan
2
h h
mE
j
mE
s = ± j = ± α α = dan fungsi gelombang
yang kita cari adalah j x j x x A e A e
ψ = α + − α ( ) 1 2 . α tidak lain adalah bilangan
gelombang, k, dengan nilai
2
2
h
mE
k = α = (3.13)
Jadi solusi yang kita peroleh dapat kita tuliskan sebagai
jkx jkx x A e A e
ψ = + − ( ) 1 2 (3.14)
Ruas kanan persamaan (3.14) terdiri dari dua suku, gelombang maju dan gelombang
mundur. Hal ini tentu tidak kita tafsirkan bahwa kita memperoleh dua elektron, satu
bergerak ke kiri dan satu bergerak ke kanan, melainkan bahwa probabilitas
keberadaan elektron ditentukan oleh ψ*ψ yang mempunyai nilai nyata.
Persamaan (3.13) memberikan hubungan antara energi elektron, E, dan bilangan
gelombang k yaitu
m
k
E
2
h 2 2
= (3.15)
30 Sudaryatno S, Ning Utari, Mengenal Sifat-Sifat Material
3.5.2. Pantulan Elektron
Dalam percobaan Davisson dan Germer berkas elektron dengan energi tertentu
ditembakkan pada permukaan kristal tunggal. Terjadinya pantulan mudah dipahami
jika kita bayangkan elektron sebagai partikel. Namun pantulan berkas elektron oleh
permukaan kristal ternyata mencapai nilai maksimum pada sudut tertentu, dan hal
ini diterangkan melalui gejala pantulan gelombang.
Elektron adalah partikel bermuatan. Oleh karena itu pantulan elektron tidak hanya
terjadi pada waktu ia membentur permukaan fisik (kristal pada percobaan Davisson
dan Germer), tetapi juga akan terjadi jika ia bertemu dengan suatu daerah yang
mendapat pengaruh medan listrik. Elektron yang bergerak bebas di suatu daerah
yang tidak mendapat pengaruh medan listrik, hanya memiliki energi kinetik; ia akan
berubah arah atau terpantul jika ia bertemu daerah yang mendapat pengaruh medan
listrik. Kita katakan bahwa di perbatasan kedua daerah itu elektron bertemu dinding
potensial.
Jika kita pandang elektron sebagai gelombang, dalam peristiwa pantulan seperti
tersebut di atas, seluruh komponen paket gelombang mengalami peristiwa pantulan
sehingga gelombang pantulan juga merupakan paket gelombang. Sebagaimana telah
kita pelajari, “posisi” elektron dibatasi oleh lebar paket gelombang. Dengan
demikian maka dalam melihat peristiwa pantulan elektron, sesungguhnya kita
berhadapan dengan selubung paket gelombang.
3.5.3. Elektron Bertemu Dinding Potensial
Kita bayangkan sebuah elektron-bebas bergerak ke arah x positif dan di suatu titik (x
= 0) ia memasuki daerah yang mendapat pengaruh medan potensial., artinya mulai
dari x = 0 ke arah positif, energi potensialnya tidak lagi nol. Kita katakan bahwa
elektron bertemu dinding potensial di x = 0. Keadaan ini kita gambarkan seperti
pada Gb.3.1. untuk kasus satu dimensi. Perlu
kita sadari, walaupun kita membayangkan
elektron bergerak ke kanan, kita tetap akan
menggunakan persamaan Schrödinger yang
bebas-waktu untuk melihat kemungkinan
keberadaan elektron di daerah I dan II pada
Gb.3.1.
Energi potensial Ep(x) untuk x < 0 (daerah I)
bernilai nol. Solusi persamaan Schrödinger untuk x < 0 ini adalah solusi untuk
elektron-bebas yang telah kita bahas yaitu
jk x jk x x A e 1 A e 1
ψ1( ) = 1 − + 2 dengan
1 2
2
h
mE
k = (3.16)
Untuk x > 0 (daerah II), solusi yang akan kita peroleh mirip bentuknya dengan (3.5)
hanya berbeda nilai k, yaitu
jk x jk x x B e 2 B e 2
ψ2( ) = 1 − + 2 (3.17)
Gb.3.1. Dinding potensial.
0 x
Ep(x)=0 Ep(x)=V
I II V
Persamaan Gelombang Schrödinger 31
dengan ( )
2
2 2 V E
m
k = −
h
Walaupun kita akan menyelesaikan persamaan yang bebas-waktu namun kita akan
mempertimbangkan hal yang terkait dengan waktu dalam melihat persamaan (3.17)
ini. Sesuai logika, jika elektron berasal dari daerah I, maka ketika ia sampai di
daerah II ia haruslah bergerak ke kanan dan oleh karena itu fungsi gelombang di
daerah II haruslah gelombang maju, dan tidak mungkin gelombang mundur. Hal ini
berarti bahwa nilai B1 pada (3.17) haruslah nol.
Perbandingan amplitudo B2 dan A2 terhadap amplitudo gelombang maju di daerah I
yaitu A1 akan memberikan gambaran keadaan elektron. Dengan menerapkan
persyaratan kekontinyuan gelombang di x = 0, yaitu 1 (0) 2 (0) ψ = ψ dan
dx
d
dx
d 1(0) 2(0) ψ
=
ψ
kita peroleh
1
1 2
1
1
2 2
A
k k
k
A
B

= ;
1 2
1 2
1
2
k k
k k
A
A

+
= (3.18)
Jika E > V maka nilai 2 k adalah nyata seperti halnya 1 k akan tetapi k2 < k1 . Oleh
karena itu 0 1
1
< 2 <
A
B
dan 0 1
1
< 2 <
A
A
. Amplitudo gelombang maju di daerah II lebih
kecil dari amplitudo gelombang maju di daerah I sedangkan amplitudo gelombang
mundur di daerah I juga lebih kecil dari gelombang maju di daerah I, sedangkan
jumlah amplitudo gelombang maju dan gelombang mundur di daerah I sama dengan
amplitudo gelombang maju di daerah II. Keadaan ini kita tafsirkan bahwa pada saat
elektron bertemu dinding potensial, ada kemungkinan bahwa elektron dipantulkan.
Kesimpulan ini berbeda dengan pernyataan dalam analisa klasik yang secara pasti
akan mengatakan bahwa elektron akan berada di daerah II karena E > V .
Jika E < V , bilangan gelombang di daerah II adalah
2 2 2
2 ( )
jk
m V E
k = ± ′

= −
h
.
Dalam bentuk eksponensial, solusi untuk daerah II menjadi
k x k x x B e 2 B e 2
2( ) 1 2
ψ = ′ + − ′ (3.19)
Suku pertama (3.19) menuju tak hingga jika x makin besar. Secara fisis hal ini tak
dapat diterima sehingga kita tidak akan meninjaunya, jadi kita buat B1 = 0 sehingga
fungsi gelombang di daerah II menjadi
k x x B e 2
2( ) 2
ψ = − ′ (3.20)
Fungsi gelombang yang berbentuk fungsi eksponensial dengan eksponen negatif ini
menunjukkan bahwa amplitudo gelombang menurun secara eksponensial. Makin
32 Sudaryatno S, Ning Utari, Mengenal Sifat-Sifat Material
besar V dibandingkan terhadap E akan semakin besar 2 k′ dan semakin cepat pula ψ2
menuju nol.
Walaupun nilainya semakin kecil, tetapi probabilitas keberadaan elektron di daerah
II tetap ada. Hal ini berbeda dengan pengertian klasik yang akan mengatakan bahwa
tidak mungkin elektron mencapai daerah II karena E < V .
Jika V makin besar menuju ∞ maka ∞ = ′2 k . Untuk x = 0, maka (3.20) menjadi
2 2 ψ (x) = B dan ψ =− ′ ′ =∞ −k x d x dx k B e 2
2( )/ 2 2 . Hal ini tak dapat kita terima maka haruslan
2 0 B = , sehingga 2 ( ) 0 ψ x = . Hal ini kita tafsirkan bahwa jika dinding potensial
sangat tinggi maka elektron akan dipantulkan dan kemungkinan elektron berada di
daerah II hampir tidak ada.
3.5.4. Elektron Berada Dalam Sumur Potensial
Pembahasan masalah ini dilakukan oleh Daniel D. Pollock dalam buku jilid
pertamanya [1]. Di sub-bab ini kita akan mencoba memahaminya melalui
pendekatan yang lebih sederhana.
Sumur potensial adalah daerah yang tidak mendapat pengaruh potensial sedangkan
daerah mendapat pengaruh potensial. Hal ini berarti bahwa elektron, selama ia
berada berada dalam sumur potensial, merupakan elektron-bebas. Kita katakan
bahwa elektron terjebak di sumur potensial, dan kita anggap bahwa dinding
potensial sangat tinggi menuju ∞, atau kita katakan sumur potensial sangat dalam.
Gb.3.2. menggambarkan keadaan ini secara dua dimensi. Daerah I dan daerah III
adalah daerah-daerah dengan V = ∞, sedangkan di daerah II, yaitu antara 0 dan L,
V = 0. Kita katakan bahwa lebar sumur potensial ini adalah L.
Pada sumur potensial yang dalam, daerah I dan III adalah daerah dimana
kemungkinan keberadaan elektron bisa dianggap nol, 1 ( ) 0 ψ x = dan 3 ( ) 0 ψ x = .
Solusi persamaan Schrödinger untuk daerah II adalah solusi untuk elektron-bebas
( ) 2 2
2 1 2
jk x jk x ψ x = B e− + B e (3.21)
Persyaratan kekontinyuan di x = 0 mengharuskan
ψ2(0) = B1 + B2 = ψ1(0) = 0→ B1 = −B2
dan persyaratan kekontinyuan di L mengharuskan
( ) 3(0) 0
L
2
L
2 1
ψ = − jk2 + jk2 = ψ = L B e B e , sehingga
0 L
I II III
ψ1 ψ2 ψ3
Ep=∞ Ep=0 Ep=∞
Gb.3.2. Elektron dalam sumur potensial (daerah II).
x
Persamaan Gelombang Schrödinger 33
( )
2 sin( L) 0
2
2
( )
2 2
L L
2
L L
2 2
2 2
2 2
= =
 


 

 − +
=
ψ = − +


jB k
j
e e
jB
L B e e
jk jk
jk jk
(3.22)
Persamaan (3.22) mengharuskan k2L = nπ atau
L
n
k
Ï€
= 2 (dengan n bilangan bulat),
sehingga fungsi gelombang di daerah II menjadi
x
n
jB
j
e e
x jB
jk x jk x
L
2 sin
2
2( ) 2 2 2
2 2 π
=
 


 

 − +
ψ =

(3.23)
Probabilitas keberadaan elektron di daerah II ini adalah sebanding dengan
L
sin
L
( ) ( ) 4 sin 2 2 2
2 2
*
2
Ï€
=
Ï€
ψ ψ = n
x K
n
x x B (3.24)
Untuk n = 1, fungsi ini bernilai nol di x = 0 dan x = L , dan maksimum di x = L/ 2 .
Untuk n = 2, nilai nol terjadi di x = 0, L/2, dan L. Untuk n = 3, nilai nol terjadi di x =
0, L/3, 2L/3, dan L; dan seterusnya, seperti terlihat pada Gb.3.3. Selain di x = 0,
jumlah titik simpul gelombang, yaitu titik di mana fungsinya bernilai nol, sama
dengan nilai n.
Gb.3.3. Probabilitas keberadaan electron dalam sumur potensial.
Karena di daerah II V = 0, maka 2
k2 = 2mE / h atau E k / 2m 2
2
= h2 . Dengan
memasukkan nilai k2 kita peroleh energi elektron:
2 2
2
2 2 2
2 L 2 L



 Ï€
=
Ï€
= n
m m
n
E
h h
(3.25)
Kita lihat di sini bahwa energi elektron mempunyai nilai-nilai tertentu yang diskrit,
yang ditentukan oleh bilangan bulat n. Nilai diskrit ini terjadi karena pembatasan
yang harus dialami oleh ψ2, yaitu bahwa ia harus berada dalam sumur potensial. Ia
harus bernilai nol di batas-batas dinding potensial dan hal itu akan terjadi bila lebar
sumur potensial L sama dengan bilangan bulat kali setengah panjang gelombang.
Jika tingkat energi untuk n = 1 kita sebut tingkat energi yang pertama, maka tingkat
0 x L
ψ
ψ*ψ
ψ
0 L
a). n =1 b). n =2 c). n =3
2 1
2
2 4
8
4
E
mL
h
E = =
2
2
1
8mL
h
E = 2 1
2
3 9
8
9
E
mL
h
E = =
0
4
0 3.16
ψ*ψ
ψ
0 L
0
0 3.16 0
4
0 3.16
34 Sudaryatno S, Ning Utari, Mengenal Sifat-Sifat Material
energi yang kedua pada n = 2, tingkat energi yang ketiga pada n = 3 dan seterusnya.
Jika kita kaitkan dengan bentuk gelombangnya, dapat kita katakan bahwa tingkattingkat
energi tersebut sesuai dengan jumlah titik simpul gelombang.
Dengan demikian maka diskritisasi energi elektron terjadi secara wajar melalui
pemecahan persamaan Schödinger. Hal ini berbeda dari pendekatan Bohr yang harus
membuat postulat mengenai momentum sudut yang harus diskrit agar kuantisasi
energi terjadi.
Persamaan (3.25) memperlihatkan bahwa selisih energi antara satu tingkat dengan
tingkat berikutnya, misalnya antara n = 1 dan n = 2, berbanding terbalik dengan
kwadrat lebar sumur potensial. Makin lebar sumur ini, makin kecil selisih energi
tersebut, artinya tingkat-tingkat energi semakin rapat. Untuk L sama dengan satu
satuan misalnya, selisih energi untuk n=2 dan n=1 adalah E E 3h / 8m 2
2 1 − = dan jika
L 10 kali lebih lebar maka selisih ini menjadi E E 0,03h / 8m 2
2 1 − = . (Gb.3.4).
Gb.3.4. Pengaruh lebar sumur .
Jadi makin besar L maka perbedaan nilai tingkat-tingkat energi akan semakin kecil
dan untuk L yang lebar maka tingkat-tingkat energi tersebut akan akan sangat rapat
sehingga mendekati kontinyu.
3.5.5. Elektron Di Dalam Sumur Potensial Dangkal
Kita tidak akan membahas hal ini secara rinci akan tetapi dengan pengertian yang
kita peroleh pada pembahasan mengenai elektron yang bertemu dengan dinding
potensial (sub-bab 3.5.3) kita akan mengerti kondisi berikut ini. Jika V tidak tinggi
akan tetapi tetap masih V > E maka fungsi gelombang di luar sumur berupa fungsi
eksponensial yang menurun menuju nol. Hal ini diperlihatkan pada Gb.3.5.
Gb.3.5. Pengaruh kedalaman sumur pada probabilitas keberadaan elektron.
Di x = 0 dan x = L amplitudo gelombang tidak lagi nol dan demikian juga
probabilitas keberadaan elektronnya. Selain itu penurunan amplitudo akan makin
lambat jika sumur potensial makin dangkal. Hal ini berarti bahwa makin dangkal
0 L
c)
ψ*ψ
E
0 L
b)
ψ*ψ
E
0 L
a)
ψ*ψ
V
E
0 L 0 L′
V
n = 3
n = 2
n = 1
Persamaan Gelombang Schrödinger 35
sumur potensial makin besar kemungkinan kita menemukan elektron di luar sumur,
seperti diperlihatkan secara berturut-turut oleh Gb.3.5.a, b, dan c.
3.5.6. Dinding Potensial Tipis Antara Dua Sumur Potensial
Situasi yang menarik adalah jika sumur potensial mempunyai dinding yang tidak
terlalu tebal, misalnya a. Dengan perkataan lain sumur potensial ini berdekatan
dengan sumur lain dan di antara keduanya terdapat dinding
potensial dinding V yang tipis. Situasi seperti ini
diperlihatkan oleh Gb.3.6. Di luar dinding, probabilitas
keberadaan elektron tidak nol. Dalam kasus ini kita masih
memiliki probabilitas menemukan elektron di sumur lain
tersebut walaupun energinya lebih rendah dari dinding
potensial. Gejala ini disebut penembusan elektron pada
dinding potensial (electron tunneling).
3.5.7. Dua Sumur Potensial Tumpang-Tindih
Jika dua sumur potensial tumpang-tindih, kedua sumur ini akan membentuk satu
sumur yang lebih lebar. Akibatnya adalah tingkat-tingkat energi akan lebih banyak,
sebagaimana disebutkan dalam pembahasan mengenai pengaruh lebar sumur. Hal
ini diperlihatkan pada Gb.3.7.
Gb.3.7. Dua sumur potensial tumpang-tindih.
3.6. Elektron Dalam Sumur Potensial Tiga Dimensi
Kita akan melihat keadaan yang agak mendekati kenyataan, yaitu elektron yang
terjebak dalam sumur potensial tiga dimensi. Sumur ini dibatasi oleh dinding
potensial di arah sumbu x, y, z, dan akan lebih tepat jika kita sebut kotak potensial,
seperti terlihat pada Gb.3.7. Elektron terjebak di dalam kotak potensial ini dan kita
mengambil nilai V = 0 di dalam kotak dan V = ∞ di luar kotak.
Karena V = 0, persamaan Schrödinger tiga dimensi yang bebas-waktu di dalam
kotak menjadi
Gb.3.7. Sumur tiga dimensi.
x
z
y
Lx
Ly
Lz
sumur-1 sumur-2
ψ*ψ
sumur-1 sumur-2
ψ*ψ
Gb.3.6. Sumur potensial
berdinding tipis.
0 L
a
ψ*ψ
36 Sudaryatno S, Ning Utari, Mengenal Sifat-Sifat Material
0
2 2
2
2
2
2
2 2
+ ψ =
 


 



∂ ψ
+

∂ ψ
+

∂ ψ
E
m x y z
h
(3.26)
dengan ψ adalah fungsi dari x, y, dan z. Kita akan melihat fungsi ini dalam bentuk
peubah terpisah ψ(x, y, z) = X (x)Y( y)Z(z) . Hal ini tidak selalu dapat terjadi, akan
tetapi kita mengambil langkah ini agar persamaan yang tidak mudah dipecahkan ini
menjadi agak sederhana. Jika turunan kedua fungsi ini kita masukkan ke (3.26)
kemudian kedua ruas dibagi dengan ψ(x, y, z) , dan dikalikan dengan 2 2m/ h maka
akan kita peroleh
E
m
z
Z z
y Z z
Y y
x Y y
X x
X x 2 2
2
2
2
2
2 ( ) 2
( )
( ) 1
( )
( ) 1
( )
1
h
= −


+


+


(3.27)
Setiap suku di ruas kiri hanya merupakan fungsi dari satu peubah dan berbeda satu
sama lain; jumlah ketiganya sama dengan suatu nilai konstan. Hal ini hanya akan
terjadi jika masing-masing suku juga sama dengan suatu nilai konstan. Jadi
Ex
m
x
X x
X x 2 2
2 ( ) 2
( )
1
h
= −


;
Ey
m
y
Y y
Y y 2 2
2 ( ) 2
( )
1
h
= −


; (3.28)
Ez
m
z
Z z
Z z 2 2
2 ( ) 2
( )
1
h
= −


dengan Ex, Ey, dan Ez adalah nilai-nilai konstan dan E = Ex + Ey + Ez . Salah satu
persamaan dari (3.28) dapat kita tuliskan sebagai
( ) 0
( ) 2
2 2
2
+ =


E X x
m
x
X x
x
h
(3.29)
Persamaan ini adalah persamaan diferensial linier homogen orde kedua yang telah
pernah kita temui pada waktu kita membahas elektron yang terjebak dalam sumur
potensial satu dimensi. Dengan cara pemecahan yang serupa, kita dapatkan
2
x
2 2
8mL
n h
E x
x = dan
2
y
2 2
8mL
n h
E
y
y = ;
2
z
2 2
8mL
n h
E z
z = (3.30)
dengan nx, ny, dan nz adalah bilangan-bilangan bulat.
Energi total elektron adalah
 


 


= + + = + +
z
2
y
2
x
2 2
8 L L L
x y z
x y z
n n n
m
h
E E E E (3.31)
Persamaan Gelombang Schrödinger 37
Persamaan (3.31) menunjukkan bahwa energi elektron ditentukan oleh tiga macam
bilangan bulat yang kita sebut bilangan kuantum, yaitu nx , ny , nz .
Bentuk fungsi gelombang dalam kotak potensial adalah
x y Lz
Ï€
sin
L
Ï€
sin
L
Ï€
ψ sin
n x n y n z
K = x y z (3.32)
Jika kotak potensial berbentuk kubus,
L = L = L = L x y z , maka
( 2 2 2 )
2
2
8 L
x y z nx ny nz
m
h
E = E + E + E = + + (3.33)
Pada persamaan (3.33) terlihat bahwa makin kecil ukuran kotak potensial, makin
jauh jarak antara satu tingkat energi dengan tingkat energi berikutnya. Tetapi pada
kotak potensial yang besar, misalnya elektron dalam metal, tingkat-tingkat energi
energi yang berurutan menjadi sangat berdekatan sehingga mereka dapat dianggap
membentuk spektrum tingkat energi yang kontinyu. Hal ini diperlihatkan pada
Gb.3.8.
Gb.3.8. Tingkat-tingkat energi elektron dalam kotak potensial.
3.8. Degenerasi
Persamaan (3.33) menunjukkan bahwa energi tergantung dari ( ) 2 2 2
nx + ny + nz . Hal ini
berarti bahwa semua status yang ditentukan oleh semua nilai nx, ny, dan nz yang
memberikan jumlah nilai yang sama akan memberikan nilai energi yang sama pula.
Akan tetapi setiap perubahan nilai nx, ny, dan nx akan memberikan fungsi gelombang
yang berbeda. Jadi satu tingkat energi mungkin berkaitan dengan beberapa fungsi
gelombang. Jika hal ini terjadi kita katakan bahwa terjadi degenerasi. Orde
degenerasi suatu tingkat energi ditentukan oleh berapa banyak fungsi gelombang
yang berbeda pada tingkat energi tersebut. Contoh untuk enam tingkat energi dari
kotak potensial kubus diberikan pada Tabel 3.1.
3E1
6E1
9E1
11E1
E1
Kotak Potensial
kecil
Kotak Potensial
besar
12E1
dE
38 Sudaryatno S, Ning Utari, Mengenal Sifat-Sifat Material
Tabel 3.1. Tingkat Energi dan Degenerasi Dalam Kotak Potensial Kubus. [3].
2 2
E1 = h / 8mL
Energi Kombinasi nx, ny, dan nz Degenerasi
3 E1 (1,1,1) 1
6 E1 (2,1,1) (1,2,1) (1,1,2) 3
9 E1 (2,2,1) (2,1,2) (1,2,2) 3
11 E1 (3,1,1) (1,3,1) (1,1,3) 3
12 E1 (2,2,2) 1
14 E1 (1,2,3) (3,2,1) (2,3,1)
(1,3,2) (2,1,3) (3,1,2)
6

Selasa, 11 Januari 2011

PEMODELAN TOMOGRAFI CROSS-HOLE METODE GEOLISTRIK RESISTIVITAS (Bentuk Anomali Silindris)

Berkala Fisika ISSN : 1410 - 9662
Vol.9, No.1, Januari 2006, hal 23-30
23
PEMODELAN TOMOGRAFI CROSS-HOLE METODE
GEOLISTRIK RESISTIVITAS (Bentuk Anomali Silindris)
Riza Eka Prabowo, Gatot Yuliyanto, M. Irham Nurwidyanto
Laboratorium Geofisika Undip
ABSTRACT
Cross-hole method using an amount of electrode were placed downhole is one of tomography
method. Cross-hole tomography method delineate the geological conditions of the earth surface
therefore it takes an important rule in the case of anomaly monitoring. The buis concrete planted in
subsurface with deepness of about 1 m were used as the source of anomaly. Tomography cross-hole
data with configuration such as pole-pole, pole-bipole, bipole-pole and bipole-bipole array were taken
with the depth of the borehole is 1,2 m. The space variation of one electrode to another in the hole of
drill is 0,2 m, 0,4 m, 0,6 m and 0,8 m for the configuration of pole-bipole, bipole-pole and bipolebipole.
Res2Dinv program obtained the images of bipole-bipole better than the images of other
configuration. While the pole-pole configuration had the worst images compared to others. It is
caused by two remote electrode of pole-pole array while bipole-bipole array do not have ones.
Key words: cross-hole, tomography, borehole, remote electrode
INTISARI
Cross-hole merupakan salah satu metode dalam tomografi yang menggunakan sejumlah
elektroda yang ditempatkan di bawah permukaan pada lubang-bor (borehole). Pengambilan data
untuk tomografi cross-hole dengan konfigurasi pole-pole, pole-bipole, bipole-pole dan bipole-bipole.
Untuk melihat hasil gambaran anomali dari metode cross-hole digunakan program Res2Dinv. Nilai
resistivitas semu terukur kemudian dimasukkan ke dalam program Res2Dinv untuk melihat hasil
pemodelan anomali untuk konfigurasi pole-pole, pole-bipole, bipole-pole dan bipole-bipole. Dari
hasil pemodelan anomali dengan Res2Dinv diperoleh gambaran bahwa konfigurasi bipole-bipole
hasil pemodelannya lebih baik dibanding dengan konfigurasi lainnya dan hasil pemodelan untuk
konfigurasi pole-pole yang tidak baik di antara konfigurasi lainnya, terlihat dari nilai error dari
program inversi yang digunakan. Hal ini disebabkan karena konfigurasi bipole-bipole tidak memiliki
remote electrode dan konfigurasi pole-pole memiliki dua remote electrode.
Kata kunci: cross-hole, tomografi, lubang-bor, remote electrode
Pendahuluan
Tomografi merupakan suatu
gambaran dari suatu penampang-lintang
dari suatu objek. Tomografi dalam
geofisika menggabungkan dua aspek
penting analisis geologi yaitu estimasi
sifat-sifat geologi dan pencitraan ke dalam
satu konsep. Tomografi mempunyai peran
penting dalam proses pemantauan anomali,
karena dapat menggambarkan kondisi
geologi di bawah permukaan bumi.
Tomografi digunakan untuk menganalisis
sifat-sifat kelistrikan medium yang dilalui,
seperti konduktivitas dan resistivitas
sehingga dapat mencitrakan prediksi
lapisan bawah permukaan dan sifat-sifat
geologi secara visual.
Cross-hole merupakan salah satu
metode dalam tomografi yang
menggunakan elektroda sumber (titik arus
yang diinjeksikan) dan elektroda potensial
(titik pengukuran) yang ditempatkan di
bawah permukaan pada dua lubang-bor
(borehole) yang terpisah secara horizontal.
Tomografi cross-hole ini dapat
menghasilkan informasi yang terperinci
pada variasi konduktivitas elektrik antara
lubang-bor sehingga dapat mendeteksi dan
menggambarkan kondisi geologi di antara
berbagai penempatan sumber (source) dan
Riza Eka Prabowo dkk Pemodelan Tomografi Cross-Hole...
24
penerima (receiver). Metode cross-hole ini
secara luas diterapkan di dalam bidang
eksplorasi tambang, arkeologi, teknik sipil
dan hidrologi. Di dalam metode ini
menggunakan berbagai susunan elektroda
arus-potential, seperti susunan pole-pole,
pole-bipole, bipole-pole, bipole-bipole
(dipole-dipole), tergantung pada aspek
tujuan dan kondisi geologi permukaan
bumi [1].
Beberapa tahun terakhir ini, ada
perkembangan yang menarik dalam survei
elektrik cross-hole untuk menampilkan
struktur bumi secara 2D dan 3D.
Resistivitas tomografi cross-hole
digunakan untuk merekontruksi struktur
konduktivitas bumi menggunakan data
cross-hole. Sebagian besar penelitian
resistivitas tomografi cross-hole
menggunakan konfigurasi pole-pole,
karena konfigurasi tersebut merupakan
yang paling sederhana. Di dalam situasi
yang praktis, konfigurasi pole-pole
mempunyai dua tambahan remote
electrode yang harus ditempatkan jauh
sekali dari titik pengukuran. Menurut Zhou
[1], tidak mungkin memperoleh data
dengan konfigurasi pole-pole secara akurat
karena sekitar 15% data yang dihasilkan
tidak memuaskan. Salah satu jalan untuk
mengurangi kesalahan tersebut dengan
mengurangi banyaknya remote electrode di
dalam akuisisi data cross-hole, seperti pada
konfigurasi pole-bipole, bipole-pole dan
bipole-bipole.
Dasar Teori
Metode resistivitas digunakan
untuk menentukan distribusi resistivitas
elektrik pada permukaan. Tomografi
resistivitas merupakan suatu teknik
penggambaran yang berhubungan dengan
geofisika yang menggunakan sejumlah
elektroda dalam lubang-bor yang dapat
menggambarkan distribusi resistivitas di
dalam tanah [2].
Di dalam survei elektrik tomografi
resistivitas yang sederhana digunakan
berbagai susunan elektroda arus-potential,
seperti susunan pole-pole, pole-bipole,
bipole-pole, bipole-bipole (dipole-dipole),
tergantung pada tujuan pencarian dan
situasi permukaannya. Konfigurasi polepole
merupakan konfigurasi yang sering
digunakan di dalam tomografi resistivitas.
Cross-hole membutuhkan sumber
(source) dan penerima (receiver) pada
lubang bor (borehole) berbeda (gambar 1),
tidak seperti pada well-logging yang
merupakan pengukuran lubang-bor tunggal
[3].
Gambar 1 Metode cross-borehole [3]
Konfigurasi Pole-Pole A – M
Konfigurasi pole-pole ini
merupakan konfigurasi yang paling
sederhana. Pada konfigurasi pole-pole, ada
dua elektroda yang diletakkan jauh tak
terhingga dari tempat pengukuran. Dalam
tomografi cross-hole metode resistivitas
dengan konfigurasi pole-pole A – M,
elektroda arus B dan elektroda potensial N
yang ditempat jauh tak terhingga dari
lubang bor (remote electrode), hanya
elektroda arus A dan elektroda potensial M
yang ditempatkan dalam lubang bor seperti
terlihar pada gambar 2 [1].
Berkala Fisika ISSN : 1410 - 9662
Vol.9, No.1, Januari 2006, hal 23-30
25
Gambar 2 Konfigurasi pole-pole A – M [1]
Perumusan resistivitasnya adalah [1]:
I
U
K a
r = D (1)
dengan a r merupakan resistivitas semu,
DU adalah beda potensial antara dua
potensial dan K adalah faktor geometri
yang tergantung pada susunan konfigurasi
elektroda. Faktor geometri untuk
konfigurasi pole-pole A – M adalah
K = 2pn (2)
dengan n adalah jarak elektodra antara A
dan M.
Konfigurasi Pole-Bipole A – MN
Konfigurasi pole-bipole A – MN
menggunakan 4 elektrodra, yaitu 2
elektroda arus dan 2 elektroda potensial,
tetapi hanya 3 elektroda yang diletakkan
pada lubang bor sedangkan elektroda yang
1 lagi diletakkan jauh tak terhingga dari
lubang-bor (remote electrode). Elektroda
arus A diletakkan pada lubang bor sebelah
kiri, elektroda arus B diletakkan jauh tak
terhingga dari lubang bor sebelah kiri dan
elektroda potensial M dan N diletakkan
pada lubang bor sebelah kanan seperti
yang terlihat pada gambar 3 [1].
Gambar 3 Konfigurasi pole-bipole A – MN [1]
Perumusan resistivitas sama seperti
konfigurasi pole-pole, yang berbeda hanya
faktor geometrinya. Faktor geometri untuk
konfigurasi pole-bipole A – MN adalah
( )



=  +
a
n n a
K 2p (3)
dengan n merupakan jarak elektodra A dan
MN dan a merupakan jarak elektroda M
dan N.
Konfigurasi Bipole-Pole AM – B
Susunan konfigurasi bipole-pole AM
– B hampir sama dengan konfigurasi polebipole
A – MN, yaitu hanya 3 elektroda
yang ditempatkan dalam lubang-bor. Pada
konfigurasi pole-bipole A – MN, elektroda
arus B merupakan remote electrode-nya
dan pada konfigurasi bipole-pole AM – B,
elektroda potensial N yang merupakan
remote electrode-nya. Susunan konfigurasi
elektrodanya ditunjukkan pada gambar 4
[1].
Gambar 4 Konfigurasi bipole-pole AM –B [1]
Riza Eka Prabowo dkk Pemodelan Tomografi Cross-Hole...
26
Perumusan resistivitas juga sama
seperti konfigurasi pole-pole dan polebipole,
yang berbeda hanya faktor
geometrinya. Faktor geometri untuk
konfigurasi bipole-pole AM – B adalah
( ) 


 


-
=
n a
na
K 2p (4)
dengan n merupakan jarak elektodra AM
dan B dan a merupakan jarak elektroda A
dan M.
Konfigurasi Bipole-Bipole AM – NB
Konfigurasi bipole-bipole AM – NB
merupakan konfigurasi yang tidak
memiliki remote electrode, karena
keempat elektrodanya berada dalam
lubang-bor. Susunan konfigurasi elektroda
ditunjukkan pada gambar 4 [1].
Gambar 4 Konfigurasi bipole-bipole AM –NB
[1]
Perumusan resistivitas juga sama
seperti konfigurasi pole-pole, pole-bipole
dan bipole-pole, yang berbeda hanya faktor
geometrinya. Faktor geometri untuk
konfigurasi bipole-bipole AM – NB adalah
( )



=  +
n
a n a
K p (5)
dengan n merupakan jarak elektodra AM
dan NB dan a merupakan jarak elektroda
A dan M.
Metode Penelitian
Dalam penelitian ini objek yang
akan diteliti berupa sebuah buis beton yang
berbentuk silinder dengan panjang 1 m dan
diameter 30 cm (seperti yang terlihat pada
gambar 5) yang ditanam di bawah
permukaan tanah dengan kedalaman
sekitar 1m. Buis beton ini bagian dalamnya
diisi penuh dengan pecahan-pecahan buis
beton sehingga bagian dalamnya terlihat
rapat. Benda tersebut digunakan sebagai
anomalinya.
Gambar 5 Bentuk beton buis
Gambar 6 Skema akuisisi data untuk
tomografi cross-hole di lapangan. (a) Benda
anomali tampak depan; (b) Benda anomali
tampak atas; (c) Benda anomali tampak
samping
Pengambilan data lapangan pada
penelitian ini terdiri dari dua pengukuran
yaitu pertama pengambilan data dengan
menggunakan konfigurasi Wenner dan
yang kedua dengan konfigurasi pole-pole,
pole-bipole, bipole-pole dan bipole-bipole.
Konfigurasi Wenner digunakan sebagai
survei awal untuk memastikan anomalinya,
sedangkan konfigurasi pole-pole, poleBerkala
Fisika ISSN : 1410 - 9662
Vol.9, No.1, Januari 2006, hal 23-30
27
bipole, bipole-pole dan bipole-bipole
digunakan untuk tomografi cross-holenya.
Pengambilan data dengan
konfigurasi Wenner dilakukan dengan
panjang bentangan sejauh 15 m dan
dilakukan pengukuran dengan spasi 0,5 m,
1 m, 1,5 m dan 2 m. Pengukuran ini
dilakukan pada 3 lintasan dengan jarak
masing-masing lintasan sekitar 0,5 m.
Pengambilan data untuk tomografi crosshole
dengan konfigurasi pole-pole, polebipole,
bipole-pole dan bipole-bipole
dilakukan dengan kedalaman lubang bor
sekitar 1,2 m dan spasi antar elektroda 0,2
m. Untuk lebih jelasnya skema
pengambilan data dapat dilihat pada
gambar 6. Untuk konfigurasi pole-bipole,
bipole-pole dan bipole-bipole variasi spasi
antar elektroda yang satu dengan yang lain
dalam lubang bor 0,2 m, 0,4 m, 0,6 m dan
0,8 m.
Pengolahan data dilakukan dengan
cara menghitung nilai resistivitas yang
diperoleh dari pengambilan data. Untuk
melihat hasil pemodelannya digunakan
program Res2Dinv.
Hasil dan Pembahasan
Hasil Pemodelan Konfigurasi Pole-Pole
Dari gambar 7 tersebut diperoleh
gambaran bahwa letak anomali sekitar 0,6
– 1,2 m dari titik 0,00 dengan kedalaman
sekitar 0,8 m dan nilai resistivitasnya
sekitar 32,5 – 40,4 Wm. Pada pengukuran
tomografi metode cross-hole konfigurasi
pole-pole digunakan program Res2Dinv
untuk melihat hasil pemodelan anomali
bentuk silinder.
Gambar 7 Hasil pemodelan pada konfigurasi
pole-pole A – M
Hasil Pemodelan Konfigurasi Pole-
Bipole
Dari gambar 8 dapat dilihat anomali
terletak pada jarak sekitar 0,6 – 1,2 m dari
titik 0,00 dengan kedalaman sekitar 0,9 m
dan dapat dilihat juga nilai resistivitas dari
anomali sekitar 201 – 267 Wm.
Gambar 8 Hasil pemodelan pada konfigurasi
pole-bipole A - MN
Riza Eka Prabowo dkk Pemodelan Tomografi Cross-Hole...
28
Hasil Pemodelan Konfigurasi Bipole-
Pole
Dari gambar 9 tersebut diperoleh
gambaran bahwa letak anomali sekitar 0,6
– 1,2 m dari titik 0,00 dengan kedalaman
0,8 m dan nilai resistivitasnya sekitar 313 –
773 Wm.
Gambar 9 Hasil pemodelan pada konfigurasi
bipole-pole AM – B
Hasil Pemodelan Konfigurasi Bipole-
Bipole
Pada gambar 10 diperoleh
gambaran bahwa letak anomali sekitar 0,6
– 1,2 m dari titik 0,00 dengan kedalaman
0,8 m dan nilai resistivitasnya sekitar 7,26
– 9,19 Wm.
Gambar 10 Hasil pemodelan pada konfigurasi
bipole-bipole AM –NB
Perbandingan Hasil Pemodelan
Konfigurasi Pole-Pole, Pole-Bipole,
Bipole-Pole dan Bipole-Bipole
Dari tabel 1, konfigurasi pole-pole
memiliki nilai error yang besar
dibandingkan dengan konfigurasi polebipole,
bipole-pole dan bipole-bipole, hal
ini disebabkan dalam pengukuran
konfigurasi pole-pole memiliki 2 remote
electrode. Remote electrode ini
mempengaruhi penyebaran arus di sekitar
lubang-bor, karena salah satu elektroda
arus yang diinjeksikan ke permukaan tanah
diletakkan jauh tak terhingga dari lokasi
lubang bor sehingga hasil pemodelan
anomali dengan menggunakan program
Res2Dinv terlihat kurang baik
dibandingkan dengan konfigurasi lainnya.
Pada tabel 1 tersebut terlihat bahwa nilai
resistivitas untuk masing-masing
konfigurasi berbeda-beda. Hal ini
disebabkan karena susunan elektroda pada
masing-masing konfigurasi.
Dari ke-empat konfigurasi tersebut,
konfigurasi bipole-bipole yang hasil
pemodelannya paling baik, karena
memiliki error yang kecil. Konfigurasi
bipole-bipole tidak memiliki remote
electrode sehingga sesuai dengan asas
timbal-balik pada metode cross-hole.
Berkala Fisika ISSN : 1410 - 9662
Vol.9, No.1, Januari 2006, hal 23-30
29
Tabel 1 Nilai error hasil pemodelan dan resistivitas anomali dari hasil pemodelan dengan Res2Dinv
Tabel 2 Hasil estimasi kedalaman dengan program Res2Dinv dan kedalaman sebenarnya
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1. Tel;ah dapat dilakukan pemodelan
dengan tomografi resistivitas
metode cross-hole menggunakan
program Res2Dinv, bentuk anomali
hasil pemodelan sesuai dengan
bentuk benda sebenarnya yaitu
benda silindris.
2. Hasil pemodelan konfigurasi polepole
kurang baik dibandingkan
konfigurasi pole-bipole, bipolepole
dan bipole-bipole. Hasil
pemodelan konfigurasi bipolebipole
merupakan hasil pemodelan
yang paling baik di antara ketiga
konfigurasi.
Saran
Untuk mengembangkan penelitian
ini dapat dilakukan dengan bentuk anomali
dan konfigurasi yang lain dan dengan
kedalaman lubang bor yang lebih dalam
sehingga dapat menghasilkan gambaran
yang baik.
Daftar Pustaka
[1] Zhou, B and S.A. Greenhalg, 2000,
Cross-hole Resistivity Tomography
Using Different Electrode
Configurations,Geophysical
Prospecting, Vol 48, 887-912.
[2] Sharma, P.V., 1997, Environmental
and Engineering Geophysics,
Cambridge University Press,
Cambridge.
[3] Sherift, R.E. and Geldarf, L.P., 1995,
Exploration Seismology, Cambridge
University Press, Cambridge
Konfigurasi Nilai error Nilai resistivitas (ra) Kedalaman anomali
Pole-pole 42,3 % 32,5 – 40.4 Wm 0,8 m
Pole-bipole 37,8 % 201 – 267 Wm 0,9 m
Bipole-pole 31,0 % 313 – 773 Wm 0,8 m
Bipole-bipole 23,2 % 7,26 – 9,19 Wm 0,8 m
Konfigurasi
Estimasi kedalaman
Kesalahan
(%)
Hasil program
Res2Dinv
Keadaan
sebenarnya
Pole-pole 0,8 m 1 m 20 %
Pole-bipole 0,9 m 1 m 10 %
Bipole-pole 0,8 m 1 m 20 %
Bipole-bipole 0,8 m 1 m 20 %

Senin, 10 Januari 2011

pengaruh tenaga eksogen dan endogen terhadap bentuk muka bumi


BAB I
PENDAHULUAN


1.1           Latar Belakang

Bentuk muka bumi yang menjadi tempat tinggal manusia akan memberikan beberapakemungkinan sebagai penunjang kehidupan yang terdapat di suatu wilayah. Maka bumimemiliki bentuk yang bermacam- macam dan selalu mengalami perubahan dari waktu kewaktu.

Perubahan bentuk muka bumi disebabkan oleh adanya tenaga yang berasal dari dalam bumi yang disebut tenaga endogen dan tenaga yang berasal dari luar bumi yang disebut tenaga eksogen. Akibat adanya kedua tenaga itulah yang menyebabkan permukaan bumi memilikibentuk yang tidak sama. Ada yang berupa gunung, pegunungan, dataran tinggi, dataran rendah,bukit, lembah, dan sebagainya. Perbedaan tinggi rendah permukaan bumi itu disebut relief.

1.2           Batasan Masalah

Dalam makalah ini hanya akan membahas tentang perubahan bentuk muka bumi disebabkan oleh adanya tenaga yang berasal dari dalam bumi yang disebut tenaga endogen dan tenaga yang berasal dari luar bumi yang disebut tenaga eksogen.

1.3           Tujuan

Tujuan dari makalah ini adalah untuk memberikan informasi tentang perubahan bentuk muka bumi disebabkan oleh adanya tenaga yang berasal dari dalam bumi yang disebut tenaga endogen dan tenaga yang berasal dari luar bumi yang disebut tenaga eksogen.



BAB II
LANDASAN TEORI

2.1     Tenaga Endogen
Tenaga endogen adalah tenaga yang berasal dari dalam bumi yang menyebabkan
perubahan pada kulit bumi. Tenaga endogen ini sifatnya membentuk permukaanbumi menjadi tidak rata. Mungkin saja di suatu daerah dulunya permukaan bumi rata(datar) tetapi akibat tenaga endogen ini berubah menjadi gunung, bukit ataupegunungan. Pada bagian lain permukaan bumi turun menjadikan adanya lembahatau jurang.
Secara umum tenaga endogen dibagi dalam tiga jenis yaitu tektonisme, vulkanisme,dan seisme atau gempa.
a.       Tektonisme
Tektonisme adalah tenaga yang berasal dari dalam bumi yang menyebabkanterjadinya dislokasi (perubahan letak) patahan dan retakan pada kulit bumi danbatuan. Berdasarkan jenis gerakan dan luas wilayah yang mempengaruhinya,tenaga tektonik dapat dibedakan atas gerak orogenesa dan epirogenesa.
b.      Vulkanisme
Vulkanisme adalah semua gejala alam yang terjadi akibat adanya aktivitasmagma. Bagaimana terjadinya vulkanisme? Vulkanisme sebenarnya sebagaiakibat dari kegiatan tektonisme. Kegiatan tektonisme ini akan mengakibatkanretakan-retakan pada permukaan bumi yang menyebabkan aliran lava dari bagiandalam litosfer ke lapisan atasnya bahkan sampai ke permukaan bumi. Kegiatanmagma itulah yang dinamakan vulkanisme. Hasilnya dapat dilihat pada gunungberapi. Uraian tentang vulkanisme ini Anda pelajari dalam penjelasan selanjutnya.
c.       Seisme (Gempa)
Pernahkah Anda mengalami gempa? Jika pernah, apa yang Anda rasakan? Benar, bumi atau lantai yang kita pijak terasa bergoyang. Gempa bumi bias terjadisiang atau malam hari. Mungkin saja di siang hari Anda sedang duduk di kursi,tiba-tiba kursi bergoyang, air dalam gelas bergoyang dan tumpah, gantunganlistrik berayun, pintu dan jendela berderak, dan tiba-tiba di luar orang-orangberteriak, gempa... gempa... Gempa seperti ini mungkin pernah atau sering terjadidi daerah Anda. Bahkan gempa bisa menimbulkan petaka yang hebat, misalnyamenyebabkan tanah longsor, bangunan roboh, banjir, gelombang pasang, bahkan7bisa menelan korban mahluk hidup termasuk manusia. Misalnya gempa yangterjadi di Tokyo Jepang tahun 1933 menelan korban 60.000 manusia dan 300.000rumah hancur. Sekarang coba Anda sebutkan di daerah mana saja gempa yangterjadi di Indonesia! Ya benar, misalnya gempa yang terjadi di Bengkulu, atau diNusa Tenggara Timur yang menewaskan banyak orang.

2.2     Tenaga Eksogen
Pernahkah Anda melihat pengikisan pantai? Setiap saat air laut menerjang pantai
yang akibatnya tanah dan batuannya terkikis dan terbawa oleh air. Tanah dan batuan yang dibawa air tersebut kemudian diendapkan dan menyebabkan pantai menjadi dangkal. Di daerah pegunungan bisa juga ditemukan sebuah bukit batu yang kian hari semakin kecil akibat tiupan angin.
Ilustrasi di atas merupakan contoh tenaga eksogen. Jadi tenaga eksogen adalah kebalikan dari tenaga endogen, yaitu tenaga yang berasal dari luar bumi. Sifat umum tenaga eksogen adalah merombak bentuk permukaan bumi hasil bentukan dari tenaga endogen. Bukit atau tebing tadi yang terbentuk hasil tenaga endogen terkikis oleh angin, sehingga dapat mengubah bentuk permukaan bumi. Secara umum tenaga eksogen berasal dari 3 sumber, yaitu:
1.      Atmosfere, yaitu perubahan suhu dan angin.
2.      Air yaitu bisa berupa aliran air, siraman hujan, hempasan gelombang laut, gletser dan sebagainya.
3.      Organisme yaitu berupa jasad renik, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia.







BAB III
PEMBAHASAN


3.1     Bentuk-bentuk Muka Bumi di Daratan

Coba Anda perhatikan bentuk permukaan bumi di sekitar tempat tinggal Anda. Mungkin Anda berada di daerah pegunungan, gunung, bukit, dataran tinggi, dataran rendah,lembah, ngarai/canyon, atau bentuk lainnya. Seperti telah dijelaskan dalam bahasansebelumnya, perbedaan bentuk muka bumi ini disebabkan oleh tenaga endogen dan eksogen.
1.      Gunung
Anda pernah melihat gunung atau mungkin mendakinya. Jika dipandang dari kejauhan gunung sungguh pemandangan yang indah. Gunung adalah bentuk muka bumi yang berbentuk kerucut atau kubah yang berdiri sendiri. Pada beberapa gunung ditemukan juga yang bersambung dengan gunung lainnya, namun bentuk terpisahnya masih jelas.
Umumnya gunung merupakan gunung berapi. Gunung berapi ini ada yang masih utuh dengan kepundan di tengahnya, misalnya gunung Ciremai, gunung Muria,gunung Dompo Batang, dan banyak lagi gunung lainnya. Ada pula gunung berapi yang hanya merupakan sisa dari gunung api lama yang telah terpotong-potong oleh letusan yang hebat pada masa lampau, misalnya gunung Burangrang yang merupakan sisa gunung api Sunda di Jawa Barat, dan Pulau Sertung yaitu bagian sisi gunung Krakatau.

2.      Pegunungan
Apa bedanya antara gunung dan pegunungan? Tadi telah dijelaskan di atas bahwa gunung merupakan bentuk muka bumi yang menjulang tinggi berbentuk kerucut atau kubah dan berdiri sendiri. Sedangkan pegunungan merupakan suatu jalur memanjang yang berhubungan antara puncak yang satu dengan puncak lainnya,misalnya Pegunungan Yura di Prancis dan Pegunungan Panini di Inggris. Di Indonesia juga banyak ditemukan pegunungan. Coba Anda diskusikan dengan teman, pegunungan yang ada di Indonesia. Benar jawaban Anda, pegunungan dimaksud diantaranya Bukit Barisan di Sumatera.
Apa yang menyebabkan terjadinya pegunungan? Pegunungan terbentuk pada waktu terjadinya gerak kerak bumi yang dalam dan luas. Karena itu daerah pegunungan biasanya relatif luas. Secara sederhana dapat kita membedakan pegunungan tua dan pegunungan muda. Pegunungan tua merupakan pegunungan yang relatif rendah dengan puncaknya yang relatif tumpul dan lerengnya landai. Misalnya Pegunungan Skandinavia dan Pegunungan Australia Timur yang terbentuk pada zaman Primer (Paleozoikum). Sedangkan pegunungan muda pada umumnya tinggi dengan puncaknya yang runcing dan lerengnya relatif curam. Pegunungan lipatan yang paling muda adalah hasil pengangkatan zaman tertier, misalnya Sirkum Mediterania dan Sirkum Pasifik.
a.       Pegunungan Lipatan
Apa yang menyebabkan terjadinya pegunungan? Pegunungan terbentuk pada waktu terjadinya gerak kerak bumi yang dalam dan luas. Karena itu daerah pegunungan biasanya relatif luas. Secara sederhana dapat kita membedakan pegunungan tua dan pegunungan muda. Pegunungan tua merupakan pegunungan yang relatif rendah dengan puncaknya yang relatif tumpul dan lerengnya landai. Misalnya Pegunungan Skandinavia dan Pegunungan Australia Timur yang terbentuk pada zaman Primer (Paleozoikum). Sedangkan pegunungan muda pada umumnya tinggi dengan puncaknya yang runcing dan lerengnya relatif curam. Pegunungan lipatan yang paling muda adalah hasil pengangkatan zaman tertier, misalnya Sirkum Mediterania dan Sirkum Pasifik.

                                                   


Gambar 3.1 Proses terbentuknya pegunungan lipatan


b.      Pegunungan oleh pengangkatan kerak bumi
Ada pegunungan yang disebabkan oleh pengangkatan kerak bumi.Pengangkatan kerak bumi ini khususnya sepanjang garis sesar atau garis retakan. Oleh karena itu gunung ini disebut gunung bungkah atau horst. Untuk lebih jelasnya perhatikan gambar berikut ini!
                       
                       
                       
                       
                        Gambar 3.2 Pegunungan Bungkah

c.       Pegunungan Sisa
Kenapa disebut pegunungan sisa? Pegunungan ini terjadi apabila pegunungan yang tinggi terkikis oleh denudasi dalam jangka waktu yang lama. Gunung semacam ini sering juga disebut gunung denudasi atau gunung relik. Denudasi adalah peristiwa terbukanya atau terkelupasnya batuan asli pada peristiwa pelapukan.

3.      Dataran Tinggi
Dataran luas yang letaknya di daerah tinggi atau pegunungan disebut dataran tinggi.Dataran tinggi terbentuk sebagai hasil erosi dan sedimentasi. Dataran tinggi dinamakan juga plato (plateau), misalnya Dataran Tinggi Dekkan, Dataran Tinggi Gayo, Dataran Tinggi Dieng, Dataran Tinggi Malang, atau Dataran Tinggi Alas. Dataran tinggi biisa juga terjadi oleh bekas Kaldera luas, yang tertimbun material dari lereng gunung sekitarnya. Misalnya Dataran Tinggi Dieng (Jawa Tengah) yang diduga oleh proses seperti itu.

4.      Dataran rendah
Dataran rendah adalah tanah yang keadaannya relatif datar dan luas sampai ketinggian sekitar 200 m dari permukaan laut. Tanah ini biasanya ditemukan di sekitar pantai, tetapi ada juga yang terletak di pedalaman. Di Indonesia banyak dijumpai dataran rendah, misalnya pantai timur Sumatera, pantai utara Jawa Barat, pantai selatan Kalimantan, Irian Jaya bagian barat, dan lain-lain. Dataran rendah terjadi akibat proses sedimentasi. Di Indonesia dataran rendah umumnya hasil sedimentasi sungai. Dataran rendah ini disebut dataran aluvial. Dataran aluvial biasanya berhadapan dengan pantai landai laut dangkal. Dataran ini biasanya tanahnya subur,sehingga penduduknya lebih padat bila dibandingkan dengan daerah pegunungan.

5.      Lembah
Anda mungkin sering menemukan atau menyebut daerah lembah. Lembah adalah daerah rendah yang terletak di antara dua pegunungan atau dua gunung. Lembah juga merupakan daerah yang mempunyai kedudukan lebih rendah dibandingkan daerah sekitarnya. Lembah di daerah pegunungan lipatan sering disebut sinklin.Lembah di daerah pegunungan patahan disebut graben atau slenk. Sedangkan lembah di daerah yang bergunung-gunung disebut lembah antar pegunungan. Sampai di sini mudah, bukan? Sekarang Anda bersama teman menyebutkan gunung,pegunungan, dataran rendah, dataran tinggi, dan lembah yang ada di propinsimu.Jika sudah selesai, mari kita lanjutkan pada bentuk muka bumi di lautan.

3.2     Bentuk muka bumi dilautan

Pernahkah Anda menyelam sampai ke dasar laut? Jika pernah, tentunya Anda bias berceritera bahwa seperti halnya di daratan, bentuk muka bumi di lautan juga tidak rata.Relief dasar laut tidak begitu besar variasinya dibandingkan dengan relief daratan. Hal ini disebabkan karena lemahnya erosi dan sedimentasi. Relief dasar laut terdiri dari
bentukan-bentukan berupa:
a.       Palung laut atau trog adalah daerah ingressi di laut yang bentuknya memanjang.Contohnya, Palung Mindanau (10.830 meter), Palung Sunda (7.450 meter), dansebagainya.
b.      Lubuk laut atau “basin” terjadi akibat tenaga tektonik, merupakan laut ingressi dan bentuknya bulat. Contohnya, Lubuk Sulu, Lubuk Sulawesi, Lubuk Banda, dan sebagainya.
c.       Gunung laut adalah gunung yang kakinya ada di dasar laut. Kadang-kadang puncak gunung laut muncul tinggi di atas laut. Contohnya, Gunung Krakatau, Maona Loa di Hawaii.
d.      Punggung laut merupakan satuan atau deretan bukit di dalam laut. Contohnya,
punggung laut Sibolga.
e.       Ambang laut atau drempel adalah punggung laut yang memisahkan dua bagian laut atau dua laut yang dalam. Contohnya, Ambang Laut Sulu, Ambang Laut Sulawesi,Ambang Laut Gibraltar, dan sebagainya. Untuk lebih jelasnya perhatikan gambar dibawah ini!

Gambar 3.3 Relief dasar laut





BAB IV
KESIMPULAN


Dari pembahasan diatas dapat ditarik  kesimpulan sebagai berikut:
v  Tenaga eksogen dan tenaga endogen merupakan tenaga penyeimbang permukaan bumi dimana tenaga endogen berfungsi sebagai pembuat bukit-bukit dan lembah-lembah dipermukaan bumi sedangkan tenaga eksogen sebagai penstabil dari tenaga endogen tersebut.
v  Tenaga endogen lebih banyak menimbulkan bahaya bagi umat manusia dibandingkan dengan tenaga eksogen.





















DAFTAR PUSTAKA




Loading

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites